Malang, 11 November 2018
NOVEMBER RAIN
Aku kembali menatap
bangku kosong di depanku. Tampak lampu dengan watt kecil menerangiku, tahu saja
kalau aku dirundung kegelapan. Tiga buah lukisan terpatri di dinding abu-abu
kehitaman itu, tampak sama seperti kemarin-kemarin. Sampai hari ini pun bangku
itu tetap kosong, si empunya tak singgah barang sedetik pun. Aku merogoh saku jeans ku, mengambil benda persegi yang
biasa aku gunakan untuk menjawab segala panggilan darimu. Namun, kali ini tak
ada lagi panggilan darimu melalui benda itu. Entah di bumi bagian mana kau
berada sekarang, aku tak mendengar kabar darimu lagi.
Sampai tanggal kesekian aku masih tetap datang di tempat biasa kita merayakan hari ini. Tepat di bulan November saat hujan mengguyur jalanan kota Malang. Kita berdua duduk di bangku ini, di bangku yang ku duduki sekarang. Kau memesan kopi dan aku memakan roti, kau duduk di depanku di bangku hitam itu dengan jaket denim lusuhmu. Jaketmu basah karena hujan malam itu, tapi senyum mu tetap merekah melihatku.
“Udah lama nunggu?,”
tanyamu kepadaku yang padahal hanya 5 menit lebih cepat darimu.
“Iya lamaaaa banget. Sebel
ih nungguin kamu,” aku berbohong, sengaja untuk menggodamu.
Kau tersenyum lalu
mencubit lenganku. Segera kamu ke meja kasir bukan untuk membayar tapi baru mau
memesan. “Roti kelapa isi keju 2 sama kopinya 1 ya mas,” ucapmu kepada pelayan yang memakai celemek hitam itu.
Sesekali kau mengelap rambut basahmu dengan tangan. Lalu kembali duduk di
bangku hitam tepat di dekat 3 lukisan tanaman dan memandangi wajahku dengan
senyum.
Lalu, kita dua sejoli
yang larut dalam obrolan ringan dan tak begitu penting menghabiskan malam di
November yang hujan saat itu. Aku selalu saja tertawa dengan ikhlas
mendengarkan leluconmu yang sebenarnya kalau orang lain mendengar tidak lucu. Tapi,
entah mengapa, kalau kamu yang ngomong aku jadi tertawa begitu renyah. Begitu saja,
tanpa terpaksa.
Tapi itu, November
tahun kemarin. Sekarang sudah masuk bulan November lagi. Seperti tahun kemarin,
November juga hujan. Aku ke tempat ini lagi sudah seperti minum obat 3 kali
sehari. Sampai semua pegawainya kenal denganku. Hari ini, mengingatkanku pada
malam November hujan tahun kemarin. Ingat saat kamu kehujanan datang ketempat
ini, ingat saat kamu menceritakan kekonyolan teman-temanmu, ingat semua cerita
yang kau ceritakan padaku di malam November hujan.
Piring isi dua roti
kelapa isi keju dan 1 kopi hitam turut menjadi temanku di November hujan tahun
ini. Aku berharap kau muncul di depanku, saat ini juga. Tetapi, kau sama sekali
tak ada kabar. Untuk apa kau beri aku mentari saat hujan di November tahun lalu
kalau akhirnya kau datangkan badai untukku. Aku pun tampak begitu bodoh, datang
ketempat ini setiap hari 3 kali. Lalu berharap kau akan muncul dengan denim
lusuh dan tersenyum. Aku sudah gila, memang gila karenamu. Kapan kau datang
wahai Dirgantara. Aku sudah muak, kau bagai ditelan bumi, atau kau sudah
dideportasi ke planet lain. Aku tak tahu, semua kisah kita seperti kaset yang
berputar di kepalaku.
“Mbak Dinda, kita udah mau tutup, ayok pulang yok mbak. Biar aku anter,” Restu, pegawai shift malam cafe ini menyadarkanku dari
lamunan panjang ini. Aku pun segera menyadarkan diri dan menyeruput kopi hitam
itu.
“Ayo kita pulang,”,
jawabku singkat pada gadis yang menatapku prihatin.
Aku pun pulang tanpa
lelucon dan tanpa melihat rambut basahmu karena hujan. Dirgantara kamu bangsat,
kapan kita berjumpa lagi. Aku, Dinda Maharani tetap menunggumu disini bersama
dua roti kelapa isi keju dan kopi hitam. Yah tentu, sekarang di November hujan.
Semoga engkau segera menemuiku lagi, aku butuh penjelasan panjang kenapa kau
pergi tanpa kabar.
Komentar
Posting Komentar