Bagian 7
Back
to my way

Waktu menunjukkan pukul 07.30 WIB,
Zahirah sudah tiba di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Kabar dukalah yang
membawa ia kesini, ke tanah air tercinta. Ia berjalan dengan tergopoh sambil
menyeret koper kecil berwarna hijau. Ia segera keluar dari bandara dan mencari
taksi untuk berangkat ke solo kerumahnya yang pastinya sudah berkibar bendera
kuning. Dalam mobil taksi itu, ia terus menangis dalam diam sehingga membuat
supir taksi itu pun tak berani menanyakan alasan ia menangis. Zahirah
benar-benar terpukul sekarang ia menjadi yatim piatu, ia hanya terus saja
berharap kalau hal ini hanyalah mimpi belaka tapi apalah daya, sudah menjadi
takdir setiap makhluk yang bernyawa pasti akan tiba ajalnya.
Tak lama mobil taksi itu melesat
dengan cepat atas permintaan penumpangnya dan akhirnya Zahirah sudah sampai di
rumahnya. Rumahnya yang terbilang minimalis dan sangatlah sederhana itu sudah
dipenuhi banyak orang. Zahirah segera turun dari mobil taksi itu tak lupa juga
ia menurunkan koper hijaunya dan membayar ongkos taksi. Ia segera berlari ke
arah kerumunan orang yang memakai peci dan kerudung. Segeralah seorang wanita
yang tidak terlalu tua namun sudah nampak seperti ibu-ibu itu menyambut Zahirah
dengan pelukan sambil menangis dan mengelus kepala Zahirah. Wanita itu berusaha
untuk menenangkan Zahirah yang terlanjur menangis. Zahirah pun segera masuk ke
dalam rumahnya dan segera memeluk tubuh yang dibalut kain putih yang tak akan
bisa lagi menjawab setiap pertanyaan Zahirah. Tubuh itu kaku, pucat, dan terasa
dingin. Zahirah tak kuat lagi, ia mengeluarkan emosi dalam dirinya. Ia
berteriak sambil menangis dan mendekap tubuh ibunya yang sudah kehilangan nyawa
itu.
“Ibuuuuuuuuuuuuu .......... kenapa
ibu..... jangan pergi bu.... jangan tingalin Zahirah bu.....”, ucapannya seolah
tak pernah ada jawabannya.
Wanita yang menyambut Zahirah tadi
segera menghampiri Zahirah dan menenangkannya.
“Zahirah sudah nak jangan gitu, ini
sudah takdir Zahirah kamu harus ikhlas”, Wanita itu membawa Zahirah ke sudut
ruangan dan terus saja menenangkannya.
“Zahirah, kamu harus ingat nasihat
ibumu nak, kamu harus ikhlas dan lebih baik kamu doakan ibumu tidak baik
meraung-raung seperti ini. Hal ini akan memberatkan kepergian ibumu nak. Ayo
sekarang kamu ambil yasin ini dan kamu doakan ibumu, kamu harus belajar untuk
ikhlas”
“Tante kinul, ibu tante.... ibuku
tante.. aku gak punya siapa-siapa tante... aku yatim piatu tante....”
“Sudah nak sabar ya... kamu masih
punya tante kinul, mbak lastri, pak de diman, dan tetangga-tetangga lainnya
nak. Kita ini keluarga, kamu harus kuat hadapi ini nak... Allah juga selalu ada
untukmu Zahirah”
Zahirah pun mulai tenang walau ia
tidak meraung lagi, air matanya masih tetap berjatuhan ketika ia membacakan doa
untuk ibunya. Ia juga kembali teringat dengan ayahnya yang juga sudah lama
meninggal. Zahirah terus mencoba ikhlas tapi itu sangat sulit sampai akhirnya
ia mengikhlaskan kepergian ibunya. Sekarang jasad ibunya sudah terkubur di
samping makam ayahnya. Pada makam itu ia berusaha tidak menjatuhkan air matanya.
Namun, apa dayanya seorang anak gadis yatim piatu yang terlalu mellow ia tak kuat menahan air matanya.
Detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Tak terasa
sudah genap satu minggu kepergian ibunya Zahirah.
“Purnama menghilang menyusul
kepergian rembulan”, batin Zahirah.
Ia terus saja merenung dan sudah
kehilangan semangat hidup. Badannya kurus karena jarang makan, bukan tak beras
ataupun lauk memang dia tidak mau makan. Ia merasa tidak punya semangat hidup.
Di tengah kegundahan dan kemelaratan Zahirah, Kinul lah yang selalu
menghiburnya tak henti-hentinya. Akan tetapi, usaha Kinul selalu sia-sia dan ia
sudah mulai putus asa. Namun berbeda kali ini, Zahirah seperti tanaman yang
sudah layu tiba-tiba tumbuh menjulang tinggi. Seperti pengguna narkoba yang
sembuh dari kecanduannya setelah rehab berpuluh-puluh tahun lamanya. Semangat
Zahirah seperti terlahir kembali, istilah sansekertanya reinkarnasi lah. Ia juga
mendapatkan dukungan penuh dari kedua sahabatnya yang sudah tiba di Indonesia.
Entah darimana mereka mendapatkan alamat Zahirah. Mungkin dari rektor atau dari
mbah google, sungguh hanya mereka berdua yang tahu.
"Irah fighting! La tahzan Zahirah, kami disini”, Carolin menyemangati
Zahirah. Wilson tak mau kalah ia pun lebih bersemangat dari Carolin.
“Zahirah Semangaet ....”, Wilson
mengucapkan dengan bahasa Indonesia yang baru ia pelajari dari google
translate. Dengan begitu percaya diri ia juga mengangkat tangannya menunjukkan
ekspresi semangat kepada Zahirah. Tak sadar kalau ucapannya salah.
“Semangat mister Wilson”, tante
Kinul segera tanggap.
“Oh iya, Semangat.. hehe salah ya
udah pede banget padahal”, Wilson menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak
gatal.
“Hahahah...”, Zahirah tiba-tiba
tertawa. Sontak semua orang di sekitarnya jadi terbelalak sekaligus senang.
***
Zahirah tak mau berlarut-larut
dalam kesedihan, lagian ini adalah takdir Allah untuknya. Ia mengikhlaskan
kepergian purnamanya sebagaimana ia mengikhlaskan kepergian rembulan. Ia
kembali bersemangat dan berniat untuk kembali ke Ottawa bersama Wilson dan
Carolin. Namun sebelumnya, ia menjamu tamunya terlebih dahulu yang jauh-jauh
datang ke Indonesia. Carolin dan Wilson ditemani Zahirah untuk sedikit jalan-jalan
di kota Solo. Mereka bertiga seragam memakai baju batik. Zahirah memakai batik
berwarna hitam dengan corak keemasan. Carolin memakai baju batik berwarna
coklat dengan motif bunga-bunga sedangkan Wilson memakai blankon khas jawa yang membuatnya terlihat cukup tampan. Kulit
putihnya dengan warna coklat dari blankon dan kamera yang dikalungkannya.
Wilson tak mau melewatkan setiap moment yang
ia lihat, ia langsung memotret setiap pemandangan yang ia lihat. Hari ini
Wilson dan Carolin terlihat akur karena mereka sudah membuat kesepakatan ketika
di Kanada kalau mereka tidak akan bertengkar dan akan akur untuk beberapa hari
di Indonesia demi sahabat mereka.
Sekedar mengisi perut yang sudah
keroncongan karena berjalan-jalan sudah 4 jam keliling Solo. Mereka mampir di
sebuah kedai di kota Solo. Carolin dan Wilson tampak berdiri di depan kedai
tersebut sambil melihat gambar makanan di spanduk. Mereka kebingungan memilih
makanan yang akan segera mereka santap. Dengan sigap Zahirah langsung menyuruh
mereka berdua masuk dan memesankan beberapa makanan untuk mereka. Gado-gado,
gudeg, ketoprak, dan soto ayam bersamaan kerupuk sudah dihidangkan di tempat
mereka bertiga duduk. Tak lupa tiga cangkir es cendol sudah diseruput
ketiganya. Carolin dan Wilson tampak senang menyantap makanan khas Indonesia.
“its so delicious, ..... hmmm ini lebih enak dari batagor dan juga
siomay”, Carolin berbicara sambil menguyah sepiring ketoprak yang tinggal
kuahnya saja.
“this is more delicious than that. Nyammm, Gado-gado”, Wilson tak mau
kalah.
Zahirah
hanya tersenyum melihat tingkah sahabat-sahabatnya yang terlihat sangat lahap.
Tak mau kalah dengan sahabat-sahabatnya, Zahirah berlaga seperti bintang iklan
yang sedang mempromosikan produknya. Dengan wajah ceria ia menyantap gudeg di hadapannya.
“Gudeg ini enak banget, apalagi
disantap saat siang dan ditemenin dengan es cendol yang menyegarkan dan juga
mengenyangkan. Ayo dicicipi guys”,
Zahirah menyodorkan mangkok gudegnya ke arah Wilson dan Carolin.
Wilson dan Carolin sangat senang ternyata
Zahirah kembali tersenyum setelah lama bersedih. Mereka berdua saling lirik
seolah memberikan kode kalau mereka berhasil membuat sahabatnya ceria lagi.
***
To be continued~
Komentar
Posting Komentar